Minggu, 24 Januari 2016

Cangkok Sumsum Tulang

Cangkok Sumsum Tulang - Transplantasi sumsum tulang pada manusia secara modern telah dimulai sejak tahun 1968, ketika diterapkan pada sekelompok penderita severe combined immunodeficiency disease (SICD), sindroma WiskottAldrich, atau leukimia. Pelaksanaan transplantasi melalui infus suspensi sumsum tulang dari saudara yang memiliki HLA identik.
Cangkok Sumsum Tulang

Cangkok Sumsum Tulang
Penderita dengan gangguan defisiensi imun tertentu dan anaemia aplastica jelas merupakan calon untuk mendapatkan pencangkokan sel-sel induk dalam sumsum tulang seperti halnya penderita lekemia akut. Untuk menghambat pertumbuhan ganas pada leukemia tersebut, penderita mendapatkan iradiasi sehingga mereka pun akan mengalami keadaan efisiensi imun.

Pencangkokan sumsum tulang membutuhkan derajat kecocokan jaringan yang tinggi, sehingga dianjurkan paling sedikit diperoleh dari saudara sekandung yang ada kecocokan HLA. Sampai kini, sebagian besar donor untuk transplantasi sumsum tulang merupakan saudara kembar identik (singeneik), atau individu memiliki genotip HLA yang identik (alogeneik). Tetapi hanya 30% dari resipien yang bisa diharapkan mendapatkan donor yang memiliki HLA identik. Dengan alasan kondisi sebagian yang cocok HLA-nya atau dari donor yang tidak ada hubungannya. Dengan upaya tersebut akhirnya berhasil memperluas kemungkinan ketersediaan donor.

Efek yang dikhawatirkan pada pencangkokan sumsum tulang bukanlah penolakan jaringan cangkok, melainkan sebaliknya, jaringan cangkok yang mengandung sel-sel imunokompeten dan menyerang tulang inang, lebih-lebih resipien yang mengalami defisiensi imun. Reaksi ini dinamakan Graft versus Host reaction (GvH-R). Timbulnya reaksi ini dapat digolongkan dalam kegagalan transplantasi. Kegagalan lain dapat disebabkan oleh timbulnya infeksi, oleh karena keadaan resipien mengalami defisiensi imun.

Cara dalam aplikasi transplantasi sumsum tulang berbeda dengan transplantasi organ-organ yang telah diuraikan sebelumnya. Sel-sel sumsum tulang yang akan dicangkokkan diperoleh dengan cara aspirasi melalui crista iliaca dari donor. Sel-sel yang dicangkokkan diharapkan dapat ber-regenerasi seluruhnya dalam tempo 8 minggu dalam tubuh resipien.

Melalui aspirasi berulang yang dibubuhi heparin sebanyak 5 ml. setiap kali akan diperoleh sebanyak 600 - 1200 ml. sumsum tulang. Jumlah ini merupakan dosis transplantasi dengan dengan rujukan 10 ml. sumsum tulang untuk setiap BB resipien dalam setiap prosedur tunggal. Dengan pengambilan sumsum tulang yang jumlahnya hanya sekitar 20% dari jumlah yang ada dalam tubuh donor tersebut, tidak perlu dikhawatirkan akan merugikan secara imunologik maupun hematologik karena masih cukup guna kebutuhan pasokan sel-sel darah dalam tubuh donor.

Tentu saja hasil inspirasi berulang sumsum tulang dengan heparin tidak langsung diberikan kepada resipien. Dalam persiapan transplantasi, cairan sumsum tulang dengan haparin di bubuhi buffer di saring melalui kasa stainless steel untuk mendapatkan suspensi sel-sel yang terpisah. Untuk memastikan jumlah sel yang akan ditransplantasikan, lebih dahulu dilakukan perhitungan sel-sel mononuklear dari suspensi sumsum tulang. Jumlah sel yang dimasukkan sekitar 2 x10 pangkat 8 - 6 x 10 pangkat 8.

Jika antara donor dan resipien kompatibel dalam golongan darah ABO, suspensi sel sumsum tulang dimasukkan melalui vena resipien dengan infus bersama dengan sel-sel eritrosit. Tetapi jika donor-resipien tidak kompatibel dalam golongan darah ABO, eritrosit yang berada dalam suspensi sumsum tulang harus dibersihkan lebih dahulu.

Sabtu, 23 Januari 2016

Cangkok Jantung

Cangkok Jantung - Dalam tahun 1983 Himpunan Transplantasi Jantung dan Paru Internasional (International Society of Heart and Lung Transplantation = ISHLT) mulai mencatat penderita-penderita yang mendapatkan transplantasi organ dalam rongga dada. Sembilan tahun kemudian, telah dilaporkan dalam tahun 1997, bahwa sebanyak 22.000 orang telah mendapatkan cangkok jantung. Dalam kurung waktu tersebut, setiap tahun sekitar 2.700 orang di seluruh dunia telah mendapatkan transplantasi jantung pada sekitar 200 pusat-pusat, yang sebagian besar di Amerika Serikat.
Cangkok Jantung

Cangkok Jantung
Indikasi untuk operasi cangkok jantung yaitu adanya penyakit-penyakit jantung tahap akhir yang tidak dapat diatasi oleh cara-cara operasi konvensional. Indikasi transplantasi jantung di antara penderita kanak-kanak yaitu penyakit jantung kongenital yang tidak dapat diatasi dengan metode konvensional. Dari pengamatan pengcangkokan jantung pada semua kelompok umur, hampir semua menunjukkan berhasil baik. Angka kematian pada tindakan operasi tersebut tercatat kurang dari 10%.

Syarat untuktransplantasi jantung, yaitu berasal dari jenazah yang meninggal karena kematian otak (brain death), sehingga masih dapat menyumbangkan jantung yang masih berdenyut. Selain jantung harus masih berdenyut, kondisi jantung harus sehat tanpa riwayat atau faktor resiko mendapatkan penyakit jantung. Donor dan resipien harus cocok dalam golongan darah serta berukuran tidak jauh berbeda. untuk mencegah penolakan, sebelum dilakukan transplantasi, dipindai dahulu adanya antibodi anti-HLA. Karena langkanya ketersediaan donor jantung, seringkali dilakukan pelonggaran syarat-syarat transplantasi yang harus dipenuhi.

Berdasarkan laporan, sangat jarang ditemukan adanya penolakan yang bersifat hiperakut pada transplantasi jantung, dan jika ada, ditemukan pada saat pemeriksaan post martem. Jika dihadapi kasus penolakan hiperakut, tidak ada cara yang efektif untuk mengatasinya, kecuali harus dilakukan transplantasi ulang. Tindakan inipun jarang diperoleh kemungkinan dapat dilakukan.

Jika terjadi penolakan dini, sangat sedikit tanda-tanda dan gejala yang ditunjukkan. Sedangkan dari hasil kajian untuk menegakkan diagnosis penolakan dini yang bersifat non-invasif, tidak dapat dipercaya secara penuh.

Diagnosis pada kejadian penolakan alograf jantung, dilakukan dengan biopsi jaringan endomiokardial yang diperoleh dengan katerisasi transvena melalui v. jugularis dextra. Apabila terjadi penolakan akut, akan diperoleh temuan khas dari gambaran histologis berupa ilfiltrasi sel-sel mononukleat. Dari sel-sel mononukleat tersebut, sebagian besar dari jenis limfosit, limfloblas dan monosit. Sebagai bukti adanya kerusakan jaringan ditemukan nikrosis dari serabut-serabut otot jantung. Pada saat ini sering disertai perubahan gambaran EKG. Untuk mengatasi terjadinya penolakan ini, selain diberikan ALG, juga disertai peningkatan pemberian dosis kortikosteroid dalam periode singkat.

Penolakan krnosi merupakan penyebab utama kematian resipien cangkok jantung, yang biasanya terjadi lebih dari setahun sesudah transplantasi. Manifestasi penolakan khronis jaringan cangkok jantung dalam bentuk sumbatan pada a. coronaria yang meluas, sehingga mengakibatkan infark miokardium. Penyakit koroner pada resipien cangkok jantung dilaporkan mencapai 40%. Sampai kini belum ada pengobatan khusus untuk mencegah atau menghentikan laju proses penolakan khronis. Sangat menarik bahwa penolakan khronis tersebut ditemukan secara khusus pada resipien adanya peningkatan antibodi anti-HLA dalam serumnya.


Jumat, 15 Januari 2016

Diabetes Mellitus (DM)

Diabetes Mellitus (DM) - Diabetes mellitus merupakan penyakit karena adanya gangguan metabolisme glukosa. Hiperglekimia yang ditimbulkan menyebabkan rasa haus yang sangat sehingga produksi urine yang berlebihan.
Diabetes Mellitus (DM)

Diabetes Mellitus (DM)
Ada dua bentuk dasar dari penyakit Diabetes Mellitus ini: DM tipe 1 yang tergantung insulin dan DM tipe II yang resisten terhadap Insulin Penderita DM tipe I sangat tergantung akan tambahan insulin dari luar agar metabolisme glukosa dapat dipertahankan. Di Amerika Serikat (Rossin, 1985) DM menyerang sekitar 0,2 - 0,5% penduduk dan puncaknya pada anak-anak berumur 11-12 tahun. Oleh karena itu DM tipe 1 merupakan penyakit yang dapat mengakibatkan kematian apabila tidak diobati. Di samping itu banyak komplikasi yang menyertainya.

DM tipe I dapat dianggap sebagai penyakit autoimun yang disertai dengan kerusakan sel B penghasil insulin di pankreas. Gepts dalam tahun 1985 melaporkan kasus seorang anak yang menderita juvenile diabetes mati setelah menunjukkan gejala insulitis (radang pada pulau langerhans pancreas). Pada pemeriksaan histologik diketemukan adanya infiltrasi sel-sel mononuklear di dalam dan disekitar pulau Langerhans. Gambaran ini menunjukkan adanya peran autoimunitas yang menyerang sel-sel penghasil insulin (sel B). Belakangan Botazzo at al,. (1985) menunjukkan secara detil adanya keterlibatan autoimun dalam insulitis tersebut. Infiltrasi limfosit ternyata sebagian besar dari populasi sel-sel sitotoksik/supresor CD8, di samping sel-sel NK dan sel T helper CD4. Kebanyakan sel-sel tersebut teraktifkan karena adanya ekspresi antigen HLA-DR dan reseptor IL-2. Lagipula diketemukan juga IgG dan C9. Penemuan-penemuan tersebut menunjang bahwa respon s autoimun humoral  dan selular ikut terlibat dalam DM Tipe I.

Antibodi anti-sel pulau (ICA = islet cells antibody) untuk pertama kali ditemukan pada penderita penyakit Addison yang kemudian ternyata terdapat pada sekitar 35 % individu yang menunjukkan satu atau beberapa manifestasi penyakit autoimun, selian diabetes mellitus. Sekarang telah diketahui bahwa prevalensi ICA, khususnya pada penderita diabetes tanpa penyakit autoimun lain, terkait dengan lamanya penderitaan. Pada awal diagnosis DM, ICA diketemukan pada sekitar 70 - 85 % kasus yang cenderung menurun sampai ICA menghilang setelah setahun kemudian. ICA biasanya dalam bentuk IgG yang sebagian besar dari sub-kelas IgG2 dan IgG6. Hampir 70% dari ICA yang diketemukan pada awal diagnosis mengikat komplemen yang akan menurun dengan berjalannya penyakit.

Pada penderita DM Tipe 1 diketemukan auto-antibodi dengan spesifitas lain yaitu anti-insulin (sebelum pengobatan dengan insulin) anti-asam-nukleat, anti-reseptor-insulin. Namun belum diketahui dengan kemungkinan penyebab DM oleh virus.

Riset mendalam pada 20 tahun terakhir ini (Notkins, 2007) telah mengungkapkan adanya autoantibodi terhadap autoantigen utama dari pankreas penderita DM tipe 1 yang baru didiagnosis. Autoantigen tersebut yaitu: 1) insulin yang diproduksi oleh sel beta dalam pulau Langerhaens pancreas, 2) sebuah enzim yang dinamakan GAD (glutamic acid decaboxylase) dan 3) sebuah protein yang dinamakan IA-2 (Islet antigen-2). Autoantigen IA-2 tersebut diungkapkan oleh kelompok peneliti yang bekerja di National Instuitutes of Health (NIH) di Amerika Serikat. Diungkapkan bahwa antigen tersebut merupakan komponen-komponen kecil dari gelembung-gelembung yang mengandung insulin yang berkumpul disekitar sel beta.

Jumat, 08 Januari 2016

Thyroiditis Hashimoto (TH)

Thyroiditis Hashimoto (TH) - Thyroiditis merupakan penyakit dengan berbagai kondisi derajat kerusakan kelenjar tiroid yang diserta kumpulan sel-sel radang. Manifestasi penyakit tergantung pada derajat radang dan waktu kelangsungannya dapat berbentuk akut, sub-akut ataupun kronik. Penyakit ini banyak menyerang wanita umur pertegahan dan frekuensinya kira-kira 20 kali lipat lebih banyak daripada pria.
Thyroiditis Hashimoto

Thyroiditis Hashimoto
Manifestasi utama thyreoditis yaitu adanya pembesaran kelenjar tiroid; pada perkembangan lanjut disertai penurunan produksi hormon tiroid, sehingga keadaan hipotiroidisme ini memberikan berbagai jenis gejala, terutama yang disebabkan oleh menurunnya metabolisme.

Kelenjar tiroid nampak jelas diinfiltrasi oleh sel-sel populasi limfosit T CD4 dan CD8, sel makrofag dan plasmasit. Kumpulan limfosit ini membentuk folikel limfoid sekunder dalam substansi kelenjar tiroid. Dengan adanya infiltrasi tersebut kelenjar tiroid mengadakan regenerasi namun dengan adanya miksudem menunjukkan bahwa kelenjar tersebut tidak mampu mengadakan regenerasi bahkan kelenjar tiroid dengan mengalami kerusakan berat.

Patogenesis dan etiologi TH belum diketahui dengan jelas. di duga sel-sel Tg (CD4) disensitisasi oleh auto-antigen tiroid tertentu karena sebab-sebab yang belum diketahui, atau pada orang-orang yang secara genetik peka. Sel-sel T auto-reaktif terhadap tiroid menjadi aktif karena tidak adanya sel supresor spesifik. Sel-sel T CD4 mungkin membantu sel-sel B untuk memproduksi auto-antibodi anti-tiroglobulin. Selain auto-antibodi tersebut juga ditemukan auto-antibodi anti-protein 107 kd. Ternyata auto-antigen tersebut merupakan peroksidase tiroid dalam sitoplsma sel folikel. Walaupun dikatakan bahwa tiroglobulin dan peroksidase tersebut terasing dari sistem imun, namun pada penderita TH pernah dibuktikan bahwa auto-antigen tersebut merupakan peroksidase tiroid dalam sitoplasma sel folikel. Walaupun dikatakan bahwa tiroglobulin dan peroksidase tersebut terasing dari sistem imun, namun pada penderita TH pernah dibuktikan bahwa auto-antigen tersebut terdapat pada permukaan folikel tiroid. Fakta tersebut dijelaskan dengan kemungkinan adanya kerusakan dari kelenjar tiroid sehingga autoantigen yang tadinya terasing akan terpapar. Sedang kerusakan folikel tiroid disebabkan oleh adanya aktivasi komplemen, oleh kompleks imun yang terbentuk dari reaksi IgG dengan autoantigen tersebut. Lagi pula pernah ditunjukkan bahwa sel-sel T sitotoksik yang ada dalam infiltrat dapat membunuh tirosit (sel folikel) melalui mekanisme ADCC (melalui antibodi).

Thyroiditis Hashimoto mempunyai dasar genetik karena tampak adanya peningkatan keterkaitan penyakit ini dengan HLA-DRS. Apalagi kerabat penderita yang sehat ternyata memiliki antibodi anti-tiroid dan auto-antibodi lain.

Rabu, 06 Januari 2016

Autoimune Hemolytic Anemia (AHA)

Autoimune Hemolytic Anemia (AHA) - Penyakit AHA merupakan penyakit anemia yang heterogen dengan ciri-ciri adanya proses hemolitik yang berkaitan dengan auto-antibodi anti-eritrosit dalam serumnya. Beberapa antibodi tersebut ada yang dapat mengaglutinasi dan ada yang melisis eritrosit dengan bantuan komplemen. Maka AHA dipilah-pilah berdasarkan ciri fisik dari antibodi yang terlibat dalam 3 jenis AHA. Aktivitas auto-antibodi tersebut di uji pada berbagai suhu.
Autoimune Hemolytic Anemia (AHA)
AHA yang banyak dijumpai adalah jenis yang memiliki aglutinin panas, yang aglutinasi eritrosit pada 37 derajat C, dan terdiri atas jenis idiopatik dan sekunder. Pada jenis penyakit dengan aglutinin dingin, terdapat antibodi dari kelas IgM yang mampu mengikat komplemen pada suhu 4 derajat C, khususnya untuk golongan darah I. Auto-antibodi anti-I tersebut ditemukan ppada penderita pnemoni karena Mycoplasma pneumoniae, Mononucleosus  infectiosus dan penyakit aglutinin dingin.

Jenis AHA ketiga disebut pula sebagai tipe Donath-Landsteiner, diketemukan pada keadaan-keadaan: hemoglobinuria paroksismal dan pada berbagai penyakit infeksi termasuk virus. Pada anemia jenis ini, antibodi kelas IgG akan melisis eritrosit pada suhu 4 derajat C melalui aktivasi komplemen.

Etiologi penyakit AHA belum jelas, tetapi diduga adanya faktor luar (obat, virus) yang berperngaruh dengan mengubah struktur antigen eritrosit hingga dikenal sebagai asing oleh sistem imun. 

Diagnosis ditegakkan dengan uji reaksi antiglobulin positif dengan uji Coombs, sedang morfologi eritrosit pada AHA termasuk sferosit. Di samping uji-uji tersebut masih diperlukan pengujian reaksi aglutinasi pada suhu yang berbeda.

Terapi dengan menggunakan steroida pada AHA jenis panas sangat berguna, namun dapat pula digunakan obat-obatan imunosupresif lain apabila usaha pertama gagal.. Pada AHA jenis dingin tetapi spesifik tidak diperlukan bagi jenis karena infeksi, sedang jenis idiopatik dapat diobati dengan sitostarika. Pada jenis penyakit dengan hemoglobinuria paroksismal dapat dicoba dengan transfusi darah yang dipanaskan sampai 37 derajat C lebih dahulu.

Selasa, 05 Januari 2016

Radang Akut

Radang Akut - Peristiwa yang paling dini dalam awal respons peradangan akut, yaitu pengaturan ekspresi molekul P-selectin dan PAF (platelet activating factor) pada sel-sel endotel yang melapisi pembuluh venula oleh histamine atau thrombin yang dilepaskan oleh adanya stimulus pertama peradangan. Pembentukan molekul-molekul tersebut berasal dari gelembung-gelembung persediaan dalam sel, yang dipastikan akan muncul pada permukaan sel hanya dalam hitungan beberapa menit. 
Radang Akut
Ikatan antara molekul P-selectin pada permukaan sel endotel dengan ligan P-selectin (PSGL-1) yang ada pada permukaan sel-sel netrofil menyebabkan berkurangnya kecepatan laju aliran sel dan yang akan disusul gerakan menggelinding sepanjang permukaan endotel, dan yang sekaligus membantu molekul PAF terikat oleh reseptor pada sel netrofil. Pada gilirannya hal tersebut akan meningkatkan ekspresi molekul LFA-1 (leukocyte function-associated molecule-1) dan Mac 1 pada permukaan sel netrofil, yang akan mengikat sel lekosit sangat erat pada endotel.

Aktivitas sel netrofil juga akan meningkatkan tingkat responsnya terhadap kemotaktik. Dibantu oleh pengaruh dari C5a dan leukotrien B4, sel-sel netrofil keluar dari arus peredaran darah melalui peergerakan diapedesis melalui celah antarsel endotel daan melintas membrana basalis untuk bermigrasi kearah daerah peradaangan oleh pengaruh faktor kemotaktik.

Dalam daerah peradangan, sel netrofil akan memfagositosis mikroorganisme dan membunuhnya dengan menggunakan berbagai mekanissme pembunuhan yang dimilikinya. Ditambah oleh kemampuan sel-sel netrofil membuat anyaman seperti sarang laba-labaa yang berfungsi sebagai perangkap bagi mikroorganisme agar tidak menyebar lebih luas, fagositosisnya akan dipermudah. Anyaman tersebut merupakan protein yang dilepaskan oleh sel netrofil mengandung sejumlah faktor anti-mikrobial yang mencakup elastase, chatepsin, myeloperoksidase (MPO) dan lactoferin, sehingga NET (neutrophil extracelullar trap) ini juga berperan dalam perusakan mikroorganisme.

Adanya kerusakan endotel pembuluh darah yang menyebabkan membran basalis terpapar langsung kepada darah akan memicu proses koagulasi darah dan fibrinolisis. Kedua proses tersebut juga dapat dipicu oleh endotoksin bakteri seperti LPS (lipopolisakharida). Dengan rusaknya endotel terjadi kontak langsung trombosit dengan kolagen membrana basalis yang menyebabkan aktivasi trombosit. Aktivasi trombosit dapat pula diinduksi oleh pelepasan PAF (platelet activating factor) oleh sel endotel. Aktivasi trombosit tersebut dapat mendorong pelepasan mediator butir-butir dalam trombosit, dan pembentukan baru beberapa mediator lain seperti IL-1B.

Trombosit teraktifkan saling bergerombol membentuk bagregat sehingga akan mengawali pembentukan thrombus tersebut akan menyumbat dan menutupi kerusakan pembuluh darah arteri untuk mencegah pendarahan. Sedang pada penggal pembuluh vena terbentuk jendelan fibrin, sebagai akibat aktivasi sistem pembekuan instrinsik melalui kontak antara faktor Hageman (faktor XII) dengan membrana basalis yang terpapar. Faktor Hageman yang teraktivkan juga memicu sistem kinin dan plasmin, sehingga beberapa produknya, misalnya bradikinin dan febrinopeptid akan mempengaruhi proses peradangan, serta bersama dengan komponen komplemen C3a dari C5a akan meningkatkan permeabilitas dinding pembuluh darah.

Sabtu, 02 Januari 2016

Anemia

Anemia - Remaja putri merupakan salah satu kelompok yang rawan menderita anemia. Di Indonesia, prevalensi anemia masih cukup tinggi. Hal itu pernah ditunjukkan Depkes (2005) di mana penderita anemia pada remaja putri berjumlah 26,50%; wanita usia subur (WUS) 26,9%; ibu hamil 40,1%; dan anak balita 47,0%. Tidak jauh berbeda dengan pernyataan WHO Regional Office SEARO yang menyatakan bahwa 25-40% remaja putri menjadi penderita anemia defesiensi zat besi tingkat ringan sampai berat prevalensi anemia remaja putri di Indonesia adalah 57,1% (Sunarko, 2002).
Anemia Pada Anak

Anemia Pada Remaja
Oleh karena itu, sasaran program perbaikan gizi pada kelompok remaja putri dianggap strategis dalam upaya memutus ssimpul siklus masalah gizi. Ditambah pula masa remaja merupakan suatu masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa (Kurniawan, 2002). Pada masa ini terjadi perubahan yang pesat (adolescence growth spurt), sehingga memerlukan zat-zat gizi yng relatif besar jumlahnya (Sediaoetama, 2000). Apalagi remaja putri akan mengalami masa persiapan menjadi ibu (Sayogo, 2000).

Anemia adalah suatu keadaan di mana kadar hemoglobin dan eritrosit lebih rendah dari normal. Pada pria, hemoglobin normal adalah 14-18 gr % dan eritrosit 4,5-5,5 jt/mm. Sedangkan pada wanita, hemoglobin normal adalah 12-16 gr % dengan eritrosit 3,5-4,5 jt/mm. Fungsi hemoglobin dalam darah adalah mengikat oksigen di paru-paru dan melepaskannya di seluruh jaringan tubuh yang membutuhkan, kemudian mengikat CO2 dari jaringan tubuh dan melepaskannya ke paru-paru. Di samping kekurangan zat besi, nilai hemoglobin yang rendah dapat disebabkan kekurangan protein atau vitamin B6 (Almatsier, 2001). Yang harus diingat adalah nilai hemoglobin kurang peka terhadap tahap awal kekurangan zat besi, akan tetapi berguna untuk mengetahui berat ringannya anemia.

Pada umumnya, anemia lebih sering terjadi pada wanita dan remaja putri dibandingkan dengan pria. Yang sangat dissayangkan adalah kebanyakan penderita tidak tahu atau tidak menyadarinya. Bahkan ketika tahu pun masih menganggap anemia sebagai masalah sepele. Remaja putri mudah terserang anemia karena:

  • pada umumnya masyarakat Indonesia (termasuk remaja putri) lebih banyak mengonsumsi makanan nabati yang kandungan zat besinya sedikit, dibandingkan dengan makanan hewani, sehingga kebutuhan tubuh akan zat besi tidak terpenuhi;
  • remaja putri biasanya ingin tampil langsing, sehingga membatasi asupan makanan;
  • setiap hari manusia kehilangan zat besi 0,6 mg yang dieksresi, khususnya melalui teses (tinja);
  • remaja putri mengalami haid setiap bulan, di mana kehilangan zat besi kurang lebih 1,3 mg per hari, sehingga kebutuhan zat besi lebih banyak daripada pria.
Mencegah anemia bagi remaja putri menjadi sangat penting, karena nantinya wanita yang menderita anemia dan hamil akan menghadapi banyak resiko, yaitu:
  • abortus;
  • melahirkan bayi dengan berat lahir rendah;
  • mengalami penyulit lahirnya bayi karena rahim tidak bisa berkontraksi dengan baik ataupun karena tidak mampu meneran;
  • pendarahan setelah persalinan yang sering berakibat kematian;
Upaya-upaya untuk mencegah anemia, antara lain sebagai berikut:
  • Makan makanan yang banyak mengandung zat besi dari bahan hewani (daging, ikan, ayam, hati, dan telur); dan dari bahan nabati (sayuran yang berwarna hijau tua, kacang-kacangan, dan tempe).
  • Banyak makan makanan sumber vitamin C yang bermanfaat untuk meningkatkan penyerpan zat besi, misalnya: jambu, jeruk, tomat, dan nanas.
  • Minum 1 tablet penambah darah setiap hari, khususnya saat mengalami haid.
  • Bila merasakan adanya tanda dan gejala anemia, segera konsultasi ke dokter untuk dicari penyebabnya dan diberikan pengobatan.
Menurut DeMaeyer (1995), pencegahan adanya anemia defesiensi zat besi dapat dilakukan dengan empat pendekatan dasar yaitu sebagai berikut:
  1. Memperkaya makanan pokok dengan zat besi, seperti: hati, sayuran berwarna hijau, dan kacang-kacangan. Zat besi dapat memabntu pembentukan hemoglobin (sel darah merah) yang baru.
  2. Pemberian suplemen tablet zat besi. Pada saat ini pemerintah mempunyai Program Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) pada remaja putri, untuk mencegah dan menanggulangi masalah anemia gizi besi melalui suplementasi zat besi.
  3. Memberikan pendidikan kesehatan tentang pola makan sehat. Kehadiran makanan siap saji (fast food) dapat memengaruhi pola makan remaja (Khomsan, 2003). Makanan siap saji umumnya rendah zat besi, kalsium, riboflavin, vitamin A, dan asam folat. Makanan siaap saji mengandung lemak jenuh, kolesterol, dan natrium yang tinggi (Spear, 2000).